
https://youtu.be/_jEeQw8wi1M?feature=shared
PURBALINGGA, JAWAPOST.NET – Polemik dugaan pungutan liar (pungli) di SMP Negeri 1 Padamara, Kabupaten Purbalingga, terus menjadi sorotan publik setelah sejumlah wali murid secara terbuka menolak praktik iuran sekolah yang dinilai tidak transparan dan memberatkan.
Kasus ini mencuat setelah salah satu wali murid melaporkan adanya “sumbangan sukarela” yang dalam praktiknya terasa seperti kewajiban. Berdasarkan informasi yang dihimpun, setiap siswa dibebani total iuran mencapai sekitar Rp 860 ribu dengan rincian antara lain map rapor Rp 50 ribu, program P5 Rp 15 ribu per tahun, pembangunan gedung “indoor” Rp 440 ribu, serta pengadaan laptop senilai Rp 80 juta.
Meski pihak sekolah menyebut iuran tersebut hasil kesepakatan bersama antara komite dan wali murid, banyak orang tua merasa prosesnya dilakukan tanpa keterbukaan dan berbau paksaan. “Kalau memang sukarela, kenapa sampai ada tenggat pembayaran dan daftar pelunasan? Ini bukan hal baru, hanya saja baru kali ini ada yang berani melapor,” ujar salah satu wali murid yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Upaya konfirmasi yang dilakukan awak media pada 8, 10, dan 11 November 2025 kepada Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Padamara, Titik Widajati, S.Pd, membuahkan bantahan tegas. Ia menegaskan bahwa seluruh penggalangan dana dilakukan berdasarkan musyawarah dan tanpa unsur paksaan. “Itu bukan pungli, semua bersifat sukarela,” katanya.
Sementara itu, Ketua Komite Sekolah, Mustaham, justru mengaku menjadi pihak yang dilaporkan atas dugaan korupsi terkait kegiatan tersebut. Ia menyebut tudingan itu tidak berdasar dan menegaskan kesiapannya menempuh jalur hukum. “Semua kegiatan dilakukan terbuka, hasil rapat bersama, dan diketahui wali murid,” ujarnya.
Perbedaan pernyataan antara pihak sekolah dan komite menambah kecurigaan publik. Sejumlah wali murid menilai praktik serupa sudah menjadi kebiasaan tahunan di sekolah tersebut dan khawatir anak-anak mereka mendapat perlakuan berbeda bila tak ikut membayar.
Desakan agar Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga segera turun tangan pun kian kuat. Masyarakat menilai perlu adanya pemeriksaan menyeluruh guna memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan dana di lingkungan sekolah negeri.
Kasus ini menjadi peringatan keras bagi dunia pendidikan agar tetap menjunjung transparansi dan akuntabilitas. Sekolah sebagai lembaga pembentuk karakter dan nilai kejujuran tidak boleh tercoreng oleh praktik-praktik yang berpotensi merusak kepercayaan publik.
