
JAWAPOST – Bulu tangkis bukan sekadar olahraga di Indonesia. Ia adalah bagian dari identitas bangsa. Sejak era Rudi Hartono, Liem Swie King, hingga Taufik Hidayat dan Susi Susanti, Indonesia telah menjadikan bulu tangkis sebagai lumbung prestasi yang mengibarkan Merah Putih di pentas dunia. Namun, dominasi yang dulunya begitu perkasa kini dihadapkan pada berbagai tantangan era modern: persaingan global yang makin ketat, kebutuhan regenerasi berkelanjutan, hingga tekanan publik yang semakin besar.
Babak Baru Pasca Era Emas
Sejak era keemasan di Olimpiade Barcelona 1992 hingga pertengahan 2000-an, bulu tangkis Indonesia terus mencetak bintang dunia. Namun sejak 2016 ke belakang, prestasi di ajang bergengsi seperti Olimpiade dan All England mengalami fluktuasi. Kemenangan Greysia Polii/Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo 2020 menjadi momen yang kembali membangkitkan harapan, bahwa Indonesia masih mampu bersaing di panggung tertinggi.
Namun pertanyaan besar muncul: bagaimana dengan kelanjutan prestasi ini? Apakah regenerasi sudah siap?
PBSI dan Tantangan Regenerasi
PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia) sebagai induk organisasi menghadapi tekanan besar untuk terus melahirkan generasi baru. Di sektor tunggal putra, sosok seperti Jonatan Christie dan Anthony Ginting sudah mulai menua secara usia kompetisi. Di tunggal putri, performa belum sepenuhnya stabil.
Regenerasi sejatinya bukan hanya soal usia, tapi juga tentang kesiapan mental, taktik, dan daya saing global. Program pelatnas harus lebih adaptif, dengan pendekatan sport science, nutrisi, dan analisis data berbasis teknologi—bukan sekadar latihan fisik konvensional.
Ancaman dari Negara Non-Tradisional
Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan masih jadi pesaing utama, tapi kini muncul kekuatan baru: India, Thailand, dan bahkan Kanada dan Spanyol mulai memperlihatkan potensi besar. Di sektor tunggal putri, misalnya, Carolina Marin dari Spanyol dan Pusarla V. Sindhu dari India menjadi contoh bahwa bulu tangkis kini benar-benar menjadi olahraga global.
Bagi Indonesia, ini artinya peta persaingan semakin luas dan kompleks. Kemenangan tak lagi bisa bergantung pada semangat juang dan tradisi saja—dibutuhkan strategi jangka panjang yang terukur.
Infrastruktur dan Dukungan Daerah
Meski Jakarta menjadi pusat pelatnas, potensi atlet di daerah belum tergarap maksimal. Banyak klub dan akademi yang kekurangan fasilitas dan pelatih berstandar nasional. Padahal talenta di daerah seperti Papua, Sumatera Barat, atau Kalimantan kerap menunjukkan bakat luar biasa.
Kolaborasi antara PBSI pusat dan pengurus daerah harus ditingkatkan. Program pencarian bakat tak boleh lagi hanya terfokus pada Pulau Jawa. Desentralisasi pelatihan bisa menjadi solusi konkret untuk memperluas basis atlet.
Peran Klub dan Industri Pendukung
Indonesia memiliki klub-klub besar seperti PB Djarum, Jaya Raya, dan Mutiara Cardinal. Peran mereka krusial dalam mencetak atlet. Namun tantangannya adalah sinergi antara klub dan PBSI yang terkadang masih bersifat kompetitif, bukan kolaboratif.
Industri pendukung seperti sponsor dan media juga berperan penting. Dukungan finansial yang berkelanjutan dari sektor swasta bisa menjadi motor untuk mengembangkan sistem pembinaan modern. Media pun bisa mengambil peran edukatif: menyuarakan isu regenerasi, mengangkat kisah atlet muda, hingga mengadvokasi pentingnya sport science.
Kilas Balik dan Proyeksi
Tahun 2024 sejauh ini membawa harapan. Beberapa atlet muda seperti Ester Nurumi Tri Wardoyo dan Alwi Farhan mulai unjuk gigi. Pasangan ganda putra dan ganda campuran juga tampil solid di beberapa turnamen internasional.
Namun konsistensi masih jadi pekerjaan rumah. Di turnamen besar seperti All England dan BWF World Tour, prestasi masih naik-turun. Mental bertanding dan tekanan publik kerap menjadi momok. Inilah yang membedakan antara pemain bagus dan juara sejati.
Panggung Menuju Olimpiade Paris 2024
Target terbesar tahun ini adalah Olimpiade Paris 2024. PBSI sudah memetakan atlet yang berpotensi lolos, dan persiapan intensif tengah dilakukan. Namun pengalaman dari tahun-tahun sebelumnya menunjukkan bahwa persiapan teknis saja tak cukup.
Pendekatan psikologis, penguatan tim pendukung (psikolog, fisioterapis, analis taktik), serta strategi adaptasi cuaca dan kondisi lokal mutlak diperlukan. Olimpiade bukan sekadar turnamen biasa—ia adalah panggung di mana mental, pengalaman, dan kepercayaan diri diuji habis-habisan.
Perspektif Atlet dan Pelatih
Dalam wawancara dengan beberapa pelatih pelatnas, mayoritas menyatakan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah membangun mindset juara. “Anak-anak sekarang pintar, cepat tangkap, tapi gampang goyah kalau kalah satu gim,” ujar salah satu pelatih senior yang enggan disebutkan namanya.
Sementara itu, seorang atlet muda mengatakan, “Kami butuh lebih banyak turnamen kecil untuk uji mental. Sekarang terlalu fokus ke turnamen besar, jadi tekanan langsung tinggi.”
Pernyataan ini memperlihatkan perlunya sistem kompetisi nasional yang lebih terstruktur dan berjenjang, agar para pemain bisa tumbuh secara alami dalam suasana kompetitif.
Asa Tak Pernah Padam
Indonesia punya modal besar: sejarah, talenta, dan kecintaan masyarakat terhadap bulu tangkis. Tapi di era modern, semua itu harus diperkuat dengan manajemen profesional, teknologi, dan mentalitas baru.
Bulu tangkis Indonesia bisa terus berjaya, asalkan kita tak terlena dengan kejayaan masa lalu dan berani menatap masa depan dengan strategi yang matang.